POLA ASUH ANAK DALAM KELUARGA

        Sejak usia dini, anak harus dirawat dan dididik dengan nilai-nilai yang akan menyuburkan kesucian manusia (fitrah) agar tumbuh kokoh. Orang tua harus terus menyirami dan memberikan pupuk berupa nilai-nilai akhlak kebajikan, yaitu kejujuran, kerendahan hati, kebiasaan menolong orang lain, kebersamaan, sikap kerja keras, pantang menyerah, kemandirian, toleransi dan kedamaian, serta nilai-nilai kebajikan lainnya.

        Sebenarnya sifat-sifat buruk yang timbul dari diri anak, bukanlah lahir dari kesucian hati mereka. Sifat-sifat tersebut, terutama timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orang tua dan para pendidik. Semakin dewasa usia anak semakin sulit baginya untuk meninggalkan sifat-sifat buruk.

          Masa remaja adalah suatu bagian dari proses tumbuh kembang yang berkesinambungan, yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa muda. Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dalam aspek fisik, emosi, kognitif dan sosial.

          Masa ini merupakan masa yang kritis, yaitu saat untuk berjuang melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Keberhasilan remaja melalui masa transisi ini dipengaruhi baik oleh faktor individu (biologis, kognitif, dan psikologis) maupun lingkungan (keluarga, teman sebaya dan masyarakat). Tidak sedikit remaja yang tidak mampu menjalani proses ini dengan baik, sehingga menimbulkan gejala ketidakstabilan mental, yaitu kondisi kepribadian yang tidak sesuai dengan harapan, seperti tidak tenang, sedih, cemas, pikiran kalut, kecewa yang berat/frustasi, dan trauma dalam waktu relatif lama.

          Kegagalan yang dialami setiap remaja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dapat menyebabkan gangguan mental. Hal ini dapat terjadi pada remaja yang tidak mampu bersikap positif terhadap kegagalan yang dialami dan mengolah emosi yang terjadi pada dirinya. Gangguan mental dapat berbentuk dalam berbagai gejala, seperti tidak tenang, waswas, mudah curiga, gugup, tidak percaya diri, minder, trauma, emosional, stress, dan sukar tidur (insomnia). Beberapa penyebab gangguan mental adalah sering mengalami kegagalan, kepribadian yang lemah dan sebab yang tidak diketahui.

 

Faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam proses pendidikan pada anak:

Secara umum ada tiga faktor penting yang berpengaruh dalam proses pendidikan terhadap anak yaitu:

A. Pola Asuh Orangtua

Untuk pola asuh ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.

B. Lingkungan

Yang termasuk dalam faktor lingkungan yaitu:

1. Pendidikan/sekolah dan teman sebaya

2. Keadaan sosial ekonomi

3. Media dan globalisasi

C. Genetik

Faktor genetik dapat berupa:

1. Biologik

2. Temperamen

3. Kehamilan/kelahiran risiko tinggi

4. Intelegensi

 

Berikut ini akan dijelaskan tentang Pola Assu secara lebih terperinci.

 

Pola Asuh Orangtua Dalam Keluarga

A. Pola Asuh Berdasar Fase Perkembangan

Pola asuh harus berorientasi pada kebutuhan perkembangan anak sesuai fase perkembangannya:

  1. Mengembangkan rasa percaya/aman (sense of basic trust) yang berkembang sekitar usia sejak lahir –  1 tahun. Rasa percaya ini akan mendukung anak untuk hidup di lingkungan yang baru dengan rasa aman dan nyaman.
  2. Mengembangkan rasa otonomi diri (sense of autonomy) yang berkembang sekitar usia 1 – 3 tahun. Rasa otonomi diri ini sebagai dasar untuk berkembangnya kemauan dan menjadi diri sendiri dan keyakinan diri.
  3. Mengembangkan rasa inisiatif pada fase kritis di usia 3 – 5 tahun. Hal ini merupakan dasar untuk berkembangnya keinginan berperan dan keberanian untuk bereksperimentasi peran dalam masyarakatnya.  Tahap ini penting untuk menimbulkan keinginan dan rasa mampu berperan secara bermakna dalam masyarakat di kemudian hari.
  4. Mengembangkan rasa industri pada fase kritisnya di usia 6 – 12 tahun yang merupakan dasar untuk berkembangnya rasa kemampuan belajar, berkarya dan berdaya guna. Pada tahap ini mempunyai peran penting untuk menimbulkan keyakinan akan kemampuannya untuk berkarya dan produktif di kemudian hari.
  5. Identitas atau citra diri (sense of identity). Berkembang sekitar usia 12 – 18 tahun (sampai akhir masa remaja. Mengembangkan rasa identitas adalah tugas utama dari periode ini, yang bertepatan dengan masa pubertas dan masa remaja. Identitas didefinisikan sebagai karakteristik yang membentuk seseorang dan membawa kemana tujuan mereka. Identitas yang sehat dibangun pada keberhasilan mereka melewati stadium yang lebih awal.

Orang tua sebagai model panutan sebagai identifikasi seksual/peran gender dan peran-peran sosial lainnya. Pendidikan moral yang konsisten namun tidak kaku/dogmatis, agar anak dapat menginternalisasi nilai/norma dengan kesadaran nalar yang sehat.

 

B. Macam Pola Asuh

Secara individu, orang tua memiliki hubungan yang khas dengan anak namun para peneliti telah mengidentifikasikan 3 macam pola asuh yang umum.

  1. Pola Asuh Otoriter:

Cara pendekatan atau pengasuhan yang berciri keras, disiplin yang tinggi dan cenderung otoriter dari orangtua agar anak menjadai penurut, tertib dan tidak melawan. Pola ini ada yang bersifat tradisional berdasarkan adat istiadat dan agama. Akibatnya anak kurang mempunyai inisiatif, tidak pernah kreatif dan takut salah. Anak tidak banyak kemauan dan menerima apa adanya, bahkan anak sering merasa tertekan, akhirnya tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara wajar. Apalagi kalau sering disalahkan dan dimarahi oleh orangtuanya. Akibat yang lain, anak menjadi penakut dan mempunyai rasa rendah diri.

 

  1. Pola Asuh Permisif

Pola asuh yang bersifat lunak, anak dibiarkan oleh pendidiknya. Anak diberi kebebasan, sehingga akan tumbuh dan berkembang secara normal. Rambu-rambu yang diberikan oleh pendidik tidak terlalu banyak bahkan sedikit sekali. Anak boleh mempunyai inisiatif, mencoba dan usul sesuatu kepada pendidik. Pendidik banyak bersifat masa bodoh. Sehingga anak dalam berperilaku terdapat kesalahan karena tidak sesuai dengan norma dan nilai pendidikan. Pengawasan dari pendidik sedikit, sehingga anak merasa tidak takut, lalu bertindak atas dasar kemauan sendiri.

 

  1. Pola Asuh Demokrasi

Pola asuh yang menekankan pada pemberian kesempatan terhadap anak agar tumbuh dan berkembang secara wajar, tetapi penuh dengan pemantauan dan pengawasan. Anak diberi hak untuk mengeluarkan pendapat, usul, saran dan inisiatif, tetapi keputusan ada pada pendidi. Hak anak didengar, diharpai dan diakui karena akan mempunyai kemampuan kelebihan dan sesuatu kekhususan yang mungkin tidak dimiliki oleh pendidik. Anak mempunyai bakat tertentu yang perlu dikembangkan. Pada perkembangan selanjutnya anak akan mempunyai rasa percaya diri dan berkemauan untuk maju seingga merasa optimis dalam menyongsong hari depannya.

 

Pendidikan di Indonesia cenderung bersifat ”Tut wuri handayani”. Prinsip pendekatan ini sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak (Keputusan Presiden RI No. 36 th 1990). Pemerintah dan masyarakat wajib melindungi anak, yang dipercayakan dalam Lembaga Perlindungan Anak.

Ketiga macam pola asuh di atas semuanya dapat dilaksanakan oleh pendidik sesuai dengan situasi, kondisi, umur dan perkembangan anak, serta tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu pendidik harus arif dalam memilih salah satu pola asuh yang akan dilakukan, jangan sampai salah.

Mengasuh anak adalah proses mendidik agar kepribadian anak dapat berkembang dengan baik dan ketika dewasa menjadi orang yang mandiri dan bertanggung jawab. Mengasuh anak bukanlah dimulai saat anak dapat berkomunikasi dengan baik, tetapi dilakukan sedini mungkin (sejak lahir).

C. Cara Mengasuh Anak

Cara mengasuh anak sebaiknya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak, yaitu:

  1. Sejak lahir sampai 1 tahun

Dalam kandungan, anak hidup serba teratur, hangat dan penuh perlindungan. Setelah dilahirkan, anak sepenuhnya bergantung terutama pada ibu atau pengasuhnya. Pencapaian pada tahap ini untuk mengembangkan rasa percaya pada lingkungannya. Bilarasa percaya tak didapat, maka timbul rasa tak aman, rasa ketakutan dan kecemasan. Bayi belum bisa bercakap-cakap untuk menyampaikan keinginannya, ia menanings untuk menarik perhatian orang. Tangisannya menunjukkan bahwa bayi membutuhkan bantuan. Ibu harus belajar mengerti maksud tangisan bayi. Keadaan dimana saat bayi membutuhkan bantuan, dan mendapat respon yang sesuai akan menimbulkan rasa percaya dan aman pada bayi. ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi. Dengan pemberian ASI seorang, bayi akan didekap ke dada sehingga merasakan kehangatan tubuh ibu dan didekap ke dada sehingga merasakan kehangatan tubuh ibu dan terjalinlah hubungan kasih sayang antara bayi dan ibunya. Segala hal yang dapat mengganggu proses menyusui dalam hubungan ibu anak pada tahap ini akan menyebabkan terganggunya pembentukan rasa percaya dan rasa aman.

 

  1. Usia 1 – 3 tahun

Pada tahap ini umumnya anak sudah dapat berjalan. Ia mulai menyadari bahwa gerakan badannya dapat diatur sendiri, dikuasai dan digunakannya untuk suatu maksud. Tahap ini merupakan tahap pembentukan kepercayaan diri.

Pada tahap ini, akan tertanam dalam diri anak perasaan otonomi diri, makan sendiri, pakai baju sendiri dll. Orangtua hendaknya mendorong agar anak dapat bergerak bebas, menghargai dan meyakini kemampuannya. Usahakan anak mau bermain dengan anak yang lain untuk mengetahui aturan permainan. Hal ini jadi dasar terbentuknya rasa yakin pada diri dan harga diri di kemudian hari.

 

 

 

 

  1. Usia 3 – 6 tahun (prasekolah)

Tahap ini anak dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan kemampuan untuk melakukan kegiatan yang bertujuan, anak mulai memperhatikan dan beinteraksi dengan dunia sekitarnya.

Anak bersifat ingin tahu, banyak bertanya dan meniru kegiatan sekitarnya, libatkan diri dalam kegiatan bersama dan menunjukkan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu tapi tidak mementingkan hasilnya, mulai melihat adanya perbedaan jenis kelamin kadang-kadang terpaku pada alam kelaminnya sendiri.

Pada tahap ini ayah punya peran penting bagi anak. Anak laki merasa lebih sayang pada ibunya dan anak perempuan lebih sayang pada ayhnya. Melalui peristiwa ini anak dapat mengalami perasaan sayang, benci, iri hati, bersaing, memiliki, dll. Ia dapat pula mengalami perasaan takut dan cemas. Pada masa ini, kerjasama ayah-ibu amat penting artinya.

 

  1. Usia 6 – 12 tahun

Pada usia ini teman sangat penting dan ketrampilan sosial mereka semakin berkembang. Hubungan mereka menjadi lebih baik dalam berteman, mereka juga mudah untuk mendekati teman baru dan menjaga hubungan pertemanan yang sudah ada.

Pada usia ini mereka juga menyukai kegiatan kelompok dan petualangan, keadaan ini terjai karenaterbentuknya identifikasi peran dan keberanian untuk mengambil risiko. Orang tua perlu membimbing mereka agar mereka memahami kemampuan mereka yang sebenarnya dan tidak melakukan tindakan yang berbahaya.

Anak pada usia ini mulai tertarik dengan masalah seks dan bayi, sehingga orang tua perlu untuk memberikan informasi yang dianggap sensitive ini secara benar.

Dalam perkembangan ketrampilan mentalnya, mereka dapat mempertahankan ketertarikannya dalam waktu yang lama dan kemampuan menulis mereka baik. Anak pada usia ini seringkali senang membaca buku ilmu pengetahuan dan komputer. Mereka menikmati mencari dan menemukan informasi yang menarik minat mereka.

Anak mulai melawan orang tuanya, mereka menjadi suka berargumentasi dan tidak suka melakukan pekerjaan rumah. Orang tua perlu secara bijaksana menjelaskan pada mereka tugas dan tanggung jawabnya. Keberhasilan pada masa kanak akan terlihat jika mereka dapat berkarya dan produktif dikemudian hari.

 

  1. Usia 12 – 18 tahun

Masa remaja bervariasi pada setiap anak, tapi pada umumnya berlangsung antara usia 11 samapi 18 tahun. Di dalam masa remaja pembentukan identitas diri merupakan salah satu tugas utama, sehingga saat masa remaja selesai sudah terbentuk identitas diri yang mantap.

Pertanyaan yang sering pada masa remaja saat pembentukan identitas diri adalah: siapakah saya? Serta: kemanakah arah hidup saya? Jika masa remaja telah berakhir dan pertanyaan itu tidak dapat dijawab dan diselesaikan dengan baik, dapat terjadi apa yang dinamaka ”krisis identitas”. Pada krisis identitas dapat menimbulkan kebingungan atau kekacauan identitas dirinya. Unsur-unsur yang memegang peran penting dalam pembentukan identitas diri adalah pembentukan suatu rasa kemandirian, peran seksual, identifikasi gender dan peran sosial serta perilaku

Berkembangnya masa remaja terlihat saat ia mulai mengambil berbagai macam nilai-nilai etik, baik dari orang tua, remaja lain dan ia menggabungkannya menjadi suatu sistem nilai dari dirinya sendiri.

Pada masa remaja, rumah merupakan landasan dasar, sedangkan dunianya adalah sekolah maka bagi remaja hubungan yang paling penting selain dengan keluarganya adalah dengan teman sebaya. Pengertian dari rumah sebagai landasan dasar adalah, anak dalam kehidupan sehari-hari tampaknya ia seolah-olah sangat bergantung kepada teman sebayanya, tapi sebenarnya ia sangat membutuhkan dukungan dari orang tuanya yang sekaligus harus berfungsi sebagai pelindung disaat ia mengalami krisis, baik dalam dirinya atau karena faktor luar. Pada masa ini penting sekali sikap keluarga yang dapat berempati, mengerti, mendukung dan dapat bersikap komunikatif dua arah dengan sang remaja dalam pembentukan identitas diri remaja itu.

Dengan berakhirnya masa remaja dan memasuki usia dewasa, terbentuklah dalam suatu identitas diri. Keberhasilan yang diperoleh atau kegagalan yang dialami dalam proses pencapaian kemandirian merupakan pengaruh dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Kegagalan keluarga dalam memberikan bantuan/dukungan itu secara memadai, akan berakibat dalam ketidakmampuan anak untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan emosinya. Sedangkan keberhasilan keluarga dalam pembentukan remaja telah mengambil nilai –nilai etik dari orang tua dan agama, ia mengambil nilai-nilai apa yang baik bagi dia dan masyarakt at pada umumnya. Jadi penting bagi orang tua untuk memberi teladan yang baik bagi remaja, dan bukan hanya menuntut berperilaku baik, tapi orang tua sendiri tidak berbuat demikian.

 

Adalah penting bagi orang tua untuk memahami proses perkembangan psikososial anaknya agar  dapat memahami dan mau mengubah pola asuhnya. Oleh karena itu  diperlukan:

* Kemampuan nalar yang memadai

* Kepribadian orang tua yang fleksibel dan mau mengubah diri

* Keharmonisan perkawinan dan kehidupan berkeluarga

* Kepatuhan dan disiplin

 

 

Kesimpulan

          Dari apa yang telah dikemukakan diatas, pola asuh sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak.  Anak akan menjadi lebih bahagia, mandiri, mampu mengatasi stress, memiliki keterampilan sosial dan mempunyai kepercayaan diri yang baik melalui pola asuh yang tepat dan baik.

          Dengan tercapainya kepribadian yang kuat, menjadikan anak dan remaja siap menghadapi pengaruh lingkungan dan mengambil nilai-nilai etik yang positif sehingga anak dan remaja mampu produktif dan didasari oleh keperibadian yang sehat (kemampuan remaja untuk bertahan terhadap pengaruh negatif lingkungan). Kepribadian yang sehat ini dapat mencegah timbulnya berbagai maslah psikososial pada dirinya, antara lain masalah seks bebas, penyalahgunaan zat dan obat terlarang.      

 

——————— 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Tes Urine, Perlukah?

“Wah, Di sekolah kami sudah melaksanakan tes urine, Bu. Di sekolah kami bebas, tidak ada murid yang pecandu.” Demikian ungkapan bangga seoang Kepala Sekolah ketika saya berkunjung ke sebuah sekolah menengah atas (SMA) di suatu daerah. Saya hanya senyum,kemudian bertanya lebih lanjut:”Siapa yang melaksanakan tes urine tersebut?” Bapak KEpala sekolah yang bangga tadi menjelaskan bahwa tes dilakukan secara massal oleh Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat setempat. Lagi-lagi saya tersenyum dan kini bertanya dalam hati, “Benarkah hasil tes urine yang telah dilakukan dapat membuktikan bahwa di sekolah tersebut benar-benr ‘clean’, artiya di sekolah tersebut benar-benar tidak terdapat anak yang menjadi pecandu Narkoba?”

Benarkah upaya yang telah dilakukan kepala sekolah tersebut? Benarkah melakukan tes urine secara massal untuk mendeteksi ada tidaknya peserta didik yang menjadi pengguna atau pecandu Narkoba di sekolah? Ternyata, upaya tes urine secara massal ini kurang atau bahkan tidak tepat bila digunakan untuk mengetahui apakah di suatu sekolah atau di sebuah istansi terdapat peserta didik atau karyawan yang menggunakan Narkoba.

Informasi yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan Repubik Indonesia dalam suratnya bernomor: 221/MENKES/III/2001, yang ditujukan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia bahwa “ Analisis urine untuk Narkoba, tidak dianjurkan untuk dilakukan secara massal dan tidak merupakan bagian dari persyaratan masuk sekolah, kuliah atau menjadi karyawan. Hal ini disebabkan karena tingginya false positive (positif semu), di samping bukan jaminan tidak adanya Narkoba apabila pemeriksaan hasilnya negatif.

Di samping itu, penetapan atau diagnosis tentang ketergantungan seseorang terhadap Narkoba (menurut Badan Kesehatan Dunia atau WHO) ditentukan oleh adanya simptom-simptom dan tanda-tanda klinis, hasil-hasil pemeriksaan fisik, laporan pihak ketiga, penemuan zat dan parafrenilia (barang/alat yang digunakan untuk memasukkan zat ke dalam tubuh) milik pasien serta pemeriksaan laboratorium dobutuhkan keterampilan professional untuk mendiagnosis secara tepat.

Untuk Narkoba jenis opioida, apabila diperiksa secara analisis urine hasilnya positif, hanya bermakna bila di dalam urine orang tersebut terdapat kandungan opioida (jika memang benar-benar urine berasal dari orang  yang bersangkutan, karena umumnya ada kecenderungan mengelabui pemeriksaan). Pemeriksaan hanya bersifat kualitatif, tidak kuantitatif. Pemahaman hasil yang keliru dapat menimbulkan interpretasi yang menyesatkan.

Berhubung banyaknya jenis-jenis Narkoba yang disalahgunakan (mulai opioida atau putaw, metamfetamin atau shabu, MDMA atau ecstacy, kannabinoid atau ganja, sampai beragam zat lainnya), maka pilihan untuk menentukan jenis zat yang akan diperiksa juga memerlukan keterampilan dan keahlian tersendiri. Half life atau lamanya zat di dalam tubuh juga sangat bervariasi. Ada yang hanya beberapa jam, da nada yang sampai berminggu-minggu, zat baru dapat hilang dari dalam tubuh. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam melakukan pemeriksaan laboratorium (urine) untuk mendeteksi adanya Narkoba di dalam tubuh seseorang, yaitu:

  1. Mengetahui jenis zat yang akan diperiksa sesuai dengan hasil wawancara dan pemeriksaan gejala fisik yang terlibat
  2. Cara pengambilan urine dan rantai penyerahanurine ke laboratoriium. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi sampel yang tidak semestinya (urine orang lain)
  3. Mengetahui kemurnian urine dan memastikan tidak dicampur oleh zat lain (dengan melihat warna dan suhunya)
  4. Mengetahui zat atau obat lain yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan zat (missal:obat batuk, obat penenang dari dokter, dan sebagainya)
  5. Mengetahui lama obat dapat terdeteksi dalam tubuh seseorang sehingga tidak memberikan hasil yang palsu.

Berikut ini jenis dan perkiraan waktu deteksi obat dalam urine seseorang

No.

Jenis Zat/Narkoba

Lama Terdeteksi

1.

Amphetamin 2 hari

2 .

Benzodiazepam 3 hari

3.

Alkohol 1 hari

4.

Ganja 2 – 3 minggu

5.

Kokain 2 – 4 hari

6.

Kodein 2 hari

7.

Heroin 1-   2 hari

8.

Morfin 2 – 5 hari

9.

Methadone 3 hari

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan, jelaslah bahwa tidak mudah untuk mengidentifikasi apakah seseorang mengonsumsi Narkoba atau tidak. Sebelum melakukan pemeriksaan urine, setidaknya kita harus mengetahui lebih dulu berdasarkan ciri-ciri fisik, apakah seseorang patut dicurigai bahwa ia mengonsumsi Narkoba. Baru kemudian untuk memastikannya perlu dilakukan tes laboratorium atau pemeriksaan urine di laboratorium. Pemeriksaan urine ini pun tidak dapat dilakukan secara massal dan tiba-tiba, karena kemungkinan seseorang tidak menggunakan urine-nya sendiri untuk pemeriksaan dan mengingat half life obat di dalam tubuh yang sangat bervariasi sesuai jenis yang dikonsumsi. Dapat saja, seseorang yang menggunakan ganja saat ini, ktika urinenya diperiksa ternyata hasilnya negative karena sifat ganja yang baru dapat terdeteksi setelah 2-3 minggu. Sebaliknya, seseorang yang sedng mengonsumsi obat penenang dengan pengawasan dokter, ketika diperiksa hasilnya dapat positif, adahal ia bukan pemakai Narkoba.

Di samping itu, sebagaimana tercantum pada Surat Menteri Kesehatan tersebut di atas, pemeriksaan zat analisis urine hanya digunakan  untuk keperluan klinis (follow up pasien ketergantungan Narkoba atau sebagai pemeriksaan pelengkap, membantu menegakkan diagnosis klinis)

Jadi, tidak perlu sekolah atau instansi apapun berlomba dan berbangga bahwa sekolahnya telah melakukan pemeriksaan urine untuk peserta didik barunya atau mendeteksi siswa-siswanya yang mengonsumsi Narkoba.Karena, hasil pemeriksaan yang positif palsu (semu) atau pun negative palsu, kemungkinannya dapat sangat terjadi.

Sumber:

–  Surat Menteri Kesehatan RI No 221/MENKES/III/2001, Jakarta   26 Maret 2001

–   Media Informasi dan Komunikasi Badan Narkotika Nasional    No. 02 Tahun III/2005, halaman 29.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Perilaku Perokok

Saya telah melakukan pengamatan secara informal terhadap orang-orang yang mempunyai kebiasaan merokok. Pengamatan yang tidak menggunakan alat bantu, artinya tanpa menggunakan instrument danalat perekam ini, saya lakukan terhadap perilaku-perilaku yang intens yang dilakukan para perokok di tempat-tempat umum. Dari pengamatan tersebut, saya dapat menyimpulkan tiga sikap atau perilaku yang cenderung negative yang melekat pada diri perokok sebagai berikut.

Pertama, para perokok cenderung berperilaku egois. Para perokok cenderung menikmati rokoknya tanpa menghiraukan keberadaan keberadaan orang lain. Asap yang dihasilkan dari rokokyang dihisapnya, dengan sekehendak hati dihembuskannya ke udara melalui mulut atau hidungnya. Sementara orang lain, terutama wanita yang berada di dekatnya sibuk mengipas-ngipaskan asap agar menjauh dengan bantuan koran, majalah, buku, kipas yang ada di tangannya atau dengan mengipas kelima jari yang dirapatkan. Ada pula yang menutup hidungnya dengan sapu tangan agar asap tidak ikut terhisap ketika bernafas. Namun seringkali, perilaku orang-orang di sekitarnya tersebut tidak dipedulikan oleh perokok ketika mereka merokok. Perokok cenderung egois karena tidak menghiraukan orang lain yang tergangguoleh asap rokoknya.

Kedua, perokok cenderung berperilaku ‘jorok”. Lihatlah para perokok, ketika secara mendadak ia harus membuang puntung (sisa potongan rokok yang hampir habis dihisap), misalnya karena bertemu orang lain yang disegani, atau ketika mobil jemputan yang ditunggu tiba-tiba dating, atau karena punting tersebut memang harus dibuang karena sudah pendek dan hamper membakar jarinya, maka mereka segera mencari-cari sudut untuk membuang punting rokoknya. Namun, bila tidak menemukan tempat membuang punting, maka jadilah lingkungannya sebagai asbak terbesar di dunia, karena mereka akan demikian saja melempar punting tersebut. Kadang-kadang pula punting yang sudah dibuang tadi dilumatnya menggunakan kaki bersepatu.

Belum lagi, debu rokok yang dibakar tadi akan berserakan tertiup angin ketika rokok digerakkan dari bawah ke atas menuju mulut. Dalam bus kota yang membiarkan penumpang merokok, tidak menutup kemungkinan debu rokok tersebut menjadi pemicu percekcokan antara perokok dengan penumpang lainnya yang terkena serpihan debu rokok.

Perokok juga cenderung memiliki kebiasaan membuang ludah di sembarang tempat. Entah mengapa, pada saat merokok mereka melakukan selingan dengan membuang ludah. Dapat dibayangkan, apabila merokoknya di dalam ruangan atau di tempat yang bersih. Tetapi, dalam ruagan seperti itu, atau dalam kondisi formal, meludah atau membuang ludah tetap dilakukan dan mereka akan mencari sudut-sudut yang tampak kotor atau paling kotor, untuk membuang ludahnya.

Ketiga, para perokok cenderung keras hati. Pada umumnya perokok mengetahui atau menyadari bahwa dengan merokok dapat mengganggu kesehatan. Namun, apabila mereka diingatkan akan bahaya tersebut, mereka cenderung tidak menghiraukan. Meski diperingatkan atau pun diberitahu, mereka tetap melakukan kebiasaan merokoknya. Meskipun pernah jatuh sakit, sejenak  akibat kebiasaan merokoknya itu, mereka dapat berhenti merokok. Selanjutnya ketika sudah benar-benar pulih, kebiasaan merokok dilanjutkan kembali atau berlanjut lagi tanpa disadari. Kembalinya kebiasaan merokok tersebut biasanya lebih besar dipengaruhi oleh teman-teman sepergaulan.

Demikian pengalaman pengamatan saya terhadap kebiasaan atau perilaku yang menyertai dan umum terjadi pada saat pecandu rokok menghisap rokoknya. Asap rokok yang dikeluarkannya sudah dapat menyumbang polusi yang terjadi. Di samping mengganggu lingkungan, perilaku sampingan yang ditimbulkan akibat kebiasaan merokok dapat menjadi pemicu goyahnya keharmonisan hubungan interpersonal.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Kiat Menghadapi Stress

Akhir-akhir ini seringkali kita saksikan di layar kaca, atau membaca berita di media cetak atau mendengar kisah nyata anak atau remaja yang mengakhiri hidupnya dengan meminum obat serangga cair, gantung diri dan sebagainya. Yang melatar belakangi dari usaha bunuh diri tersebut hanyalah masalah sepele menurut orang yang normal pada umumnya, namun bagi anak tersebut sudah merupakan beban yang amat berat. Misalnya karena berebut remote control pesawat televisi dengan kakak, tidak mampu membayar iuran sekolah, atau  tidak mampu hidup konsumtif seperti teman-temannya.

 Melihat kenyataan seperti ini, tampaknya dapat disimpulkan bahwa anak-anak atau remaja kita saat ini memiliki pribadi yang rapuh dan mudah putus asa. Mereka tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan hidup yang kecil sekalipun. Oleh karena itu, perlu diperkenalkan kepada remaja tentang apa itu tekanan hidup (stress) serta bagaimana  mengatasi tekanan-tekanan tersebut.

 Menurut Vincent Cornelli, seorang psikolog ternama, stress merupakan suatu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, serta dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu dalam lingkungan tersebut (Imam Masbukin, 2005, hal.10). Selanjutnya dijelaskan bahwa, secara spesifik Richard Lazarus, menganggap stress sebagai sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan (gap) antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi.. Stress juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu terganggu keseimbangannya. Stress terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut seseorang untuk berespon secara sesuai.

 Dari segi ilmu kedokteran, Hans Selye (1950) memberikan pengertian stress sebagai respons tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respons tubuh seseorang manakala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stress. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebioh organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalani fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distress.  ( Prof. Dr. dr. Dadang Hawari, 2004, halaman 17)

 

Peristiwa atau kejadian di sekitar kita baru akan dialami atau dihayati sebagai suatu stress berdasarkan arti atau interpretasi yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut, bukan karena peristiwanya itu sendiri. Jadi lingkungan hanya memberikan tuntutan (yang menimbulkan stress ), jika tuntutan tersebut dipersiapkan  atau dihayati sebagai tuntutan. Tuntutan juga tidak akan menimbulkan stress, jika tuntutan tersebut dipersepsikan sebagai tidak berarti atau tidak ada akibatnya. Menurut Woolfolk dan Richardson (1979), stress adalah suatu (persepsi) cara pandang dari ancaman atau suatu bayangan akan adanya ketidaksenangan, yang menggerakkan, menyiagakan atau membuat aktif organisme. Jadi, stress bukan terletak di luar diri atau di lingkungan kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri.

 Pada dasarnya stress merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan seperti merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Setiap hari kita harus tergesa-gesa bangun, membereskan pekerjaan rumah, kadang sampai lupa atau tidak sempat sarapan, lari mengejar kendaraan umum untuk ke sekolah atau menjalani aktivitas, berkonflik dengan teman atau orang lain, kehabisan uang padahal harus membeli keperluan harian, dan seterusnya. Semua kejadian ini dapat memunculkan stress.

 Banyak  orang beranggapan bahwa stress adalah sesuatu yang buruk. Padahal sebenarnya kita dapat memanfaatkannya, karena stress dapat mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Meski cukup sering mengganggu, stress tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif. Tidak semua stress dipandang sebagai negatif. Stress dalam kadar yang ringan justru diperlukan untuk memberikan semangat hidup dan dorongan untuk berprestasi lebih baik.  Dalam hal-hal tertentu, stress memiliki dampak positif.  Stress yang memiliki dampak positif disebut sebagai Eustress. Eustress adalah stress dalam arti positif, yakni keadaan yang dapat memotivasi, dan berdampak menguntungkan. Sebagai contoh, ada orang-orang yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba terbangkitkan kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi diri sendiri dan dapat berprestasi gemilang. Jadi stress tidak perlu dihilangkan bahkan tidak perlu ditakuti. Yang perlu diwaspadai adalah stress berat yang berlangsung lama atau tidak mampu dikendalikan.

 

Gejala Stress

Stress dapat dikenali melalui tampilan dari berbagai gejala, seperti meningkatnya kegelisahan, ketegangan dan kecemasan; dihayatinya sakit fisik (sakit kepala, mulas, gatal-gatal, diare); adanya kelelahan, ketegangan otot, gangguan tidur, atau meningkatnya tekanan darah dan detak jantung. Stress juga dapat tampil dalam perubahan pada perilaku: seseorang jadi tidak sabar, lebih cepat marah, menarik diri, atau menampilkan perubahan pola makan. Sebagian orang merasa frustrasi, tak berdaya, menjadi lesu dan memiliki penilaian diri rendah.

 Untuk dapat mengelola stress, kita perlu mengenali gejala-gejalanya sedini mungkin. Hal-hal yang perlu dikenali adalah sebagai berikut:

1. Perilaku/tindakan (menurunnya kegairahan/semangat, pemakaian obat penenang atau minuman penambah vitalitas yang berlebihan, meningkatnya konsumsi kopi, penggunaan kekerasan atau tindakan agresif pada keluarga atau lainnya, gangguan pada kebiasaan makan, gangguan tidur, problem seksual, kecenderungan menyendiri, membolos, tidak waspada).

2. Proses sikap/pikiran (pemikiran irasional dan kesimpulan bodoh, lamban dalam pengambilan keputusan atau kesimpulan, kecenderungan lupa dan penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi, kehilangan perspektif, berpikir fatalis, negatif, apatis, cuek dan serba skeptis, menyalahkan diri, pikiran selalu was-was dan perasaan kacau, bingung, dan putus asa).

3. Emosi/perasaan (cepat marah dan murung, cemas/takut/panik, emosional dan sentimentil berlebihan, tertawa gelisah, merasa tak berdaya, selalu mengkritik diri sendiri dan orang lain secara berlebihan, pasif, depresi/sedih berkepanjangan atau sangat mendalam dan merasa diabaikan).

4. Fisik/fisiologis (sakit kepala dan sakit lainnya pada kepala, leher, dada, punggung dan lain-lain, jantung berdebar, diare/konstipasi/gangguan buang air besar, gatal-gatal, nyeri pada rahang dan gigi gemeretak, kerongkongan kering, pusing kepala, sering buang air kecil dan perubahan pola makan, badan berkeringat tidak wajar)

 

Kiat Menghadapi Stress

Pada dasarnya stress dapat dikendalikan, tergantung pada kemauan diri individu itu sendiri. Dalam bukunya Imam Busbikin menganjurkan agar kita selalu membiasakan bersikap FARPS  yaitu sebuah istilah dalam manajemen kepribadian. FARPS adalah kepanjangan dari Fleksibel yaitu tidak hanya menggunakan satu sudut pandang saja dalam melihat berbagai kejadian dan peristiwa, Adaptif yaitu terbuka secara selektif, Rasional  yaitu gabungan argumentatif antara realisme dan idealisme, Positif yaitu itikad, niat dan tekad kuat dan baik disertai keyakinan, dan Solusi yaitu tidak suka meratap dan mengeluh tetapi mencari jalan keluar yang terbaik.

 

Ada 3 macam ancangan untuk menghadapi stress yaitu:

1. Memanipulasi lingkungan

Lingkungan yang kita persepsikan sebagai suatu ancaman, suatu yang merugiokan, kita usahakan untuk berubah. Misalnya ruang kuliah yang panas dimanipulasi dengan memasang air condition (AC); ruangan yang penerangannya kurang baik, diganti menjadi berpenerangan lebih baik. Upaya memanipulasi lingkungan ini ada yang mudah dan ada pula yang sukar. Yang sukar misalnya mengubah sifat atau kepribadian orang lain.

2. Mengubah Persepsi

Dalam keadaan tertentu, stress yang kita rasakan dapat dihilangkan jika kita mengubah persepsi terhadap kejadian yang menimbulkan stress. Pada kejadian yang kita nilai negatif, diusahakan untuk melihat hikmahnya. Sering, timbul stress dalam diri kita kalau kita melihat orang lain melakukan suatu perbuatan yang seharusnya tidak boleh ia lakukan. Kita menjadai jengkel, karena ingin orang lain berperilaku sesuai dengan keinginan kita. Berperilaku moralistik adalah berbeda dengan memaksa orang lain untuk berperilaku moralistik. Dengan melihat perbedaan ini kita akan berbeda mempersepsikan perilaku orang lain yang melanggar peraturan

 

3. Meningkatkan Daya Tahan terhadap Stress

Beberapa teknik dan kebiasaan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap stress adalah:

a. meditasi

b. berzikir (melafalkan/mengingat kebesaran tuhan dalam hati)

c. latihan jasmani (berolahraga)

d. memakan makanan yang bergizi

e. melatih kesabaran (bagi muslim melalui sholat, puasa, zakat dan haji).

 

—————————–

 

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar